”Lihat warnanya!” ”Iya, khas anak-anak.” Yang tengah dibincangkan dua lelaki dewasa pada siang 28 Desember itu tak lain lukisan karya keroyokan Harson, Jihadi, Mariani, dan Neitha, siswa Kelas II SMPN 24 Makassar. Lukisan fotografik tanpa judul mereka merupakan salah satu dari seratusan karya lukisan kain perca siswi-siswa sekolah yang sama, ditampilkan di Ruang Pameran Komunitas Ininnawa, 27 November-1 Desember lalu. Lukisan tersebut menggambarkan seekor ikan kecil berkepala biru laut, mata putih, siripnya berwarna kuning, ekornya merah-hijau, dan bersisik hitam berenang di antara gelembung udara yang biru. Di depannya menganga ikan lain yang jauh lebih besar. Gigi tajam si besar siap meremuk tubuh si kecil. Ikan raksasa itu bermulut biru, kepala coklat, mata hitam-putih, dan berbintik bulat besar merah kuning. Benar. Sepintas lukisan itu bernuansa layaknya kanak-kanak dan remaja. Penuh warna. Dijejalkan begitu saja. Meski bagi saya, lukisan itu benar-benar mencengangkan. Warna dimasukkan dalam bingkai tanpa ada saling tabrak. Begitu padu. Bahkan sangat ceria. Ini tentu menunjukkan bagaimana mereka memadukan selera empat perancang dan pembuatnya.Namun bila melihatnya lebih dekat lagi, lukisan itu makin menarik. Guratan kasar terlihat jelas di kepala ikan. Sang pembuat rupanya menggunakan kain ’kulit jagung’—lantaran bertekstur laiknya kulit pembungkus buah jagung. Seakan-akan pembuatnya ingin menunjukkan bahwa rupa penguasa dan penindas memang buruk adanya. Baca selanjutnya di s i n i. |
Leave a Comment: |